Untukmu Saudaraku

on Kamis, 30 Mei 2013
Individu adalah komponen terkecil penyusun masyarakat, Dia memegang peranan penting dalam menentukan perjalanan dan bentuk masyarakat itu sendiri. Oleh kerana itu, yang menjadi tonggak dalam gerakan kita adalah individu, kemudian keluarga, dan akhirnya masyarakat. Maka perbaikilah dirimu terlebih dahulu, kemudian serulah orang lain ke jalan kebaikan. Kerana terwujudnya peribadi-peribadi yang benar-benar mukmin akan membuka banyak peluang untuk sukses. Inilah karakteristik Islam yang paling menonjol, iaitu pembentukan peribadi islami {takwin asy-syakhshiyab al-islamiyyah).

Walau jumlah orang yang memusuhi Islam sangat banyak, namun jika kita dapat mengajak satu orang dari mereka dalam setiap hari agar mahu bergabung dalam dakwah islamiah, maka perlahan tapi pasti kita telah mengentaskan mereka dari kehinaan jahiliah menuju kemuliaan di bawah naungan cahaya Islam. Bukankah ini adalah tujuan dakwah? Bukankah mencari pengikut dengan cara seperti ini adalah tindakan yang bijaksana dan akan membuahkan hasil yang jelas?

Tugas kita adalah meluruskan pendapat umum yang salah terhadap Islam. Jika individu bisa menjadi baik, maka masyarakat pun akan menjadi baik, dan dengan sendirinya Islam akan berdiri tegak. Dalam jamaah dakwah islamiah sendiri, kita mengadakan suatu program yang kita sebut dengan projek al-akh al-wahid, iaitu setiap anggota berjanji dan berusaha untuk mengajak satu orang anggota baru dalam satu tahun.
Tidak seorang pun diperbolehkan menunda-nunda waktu, kerana perputaran waktu adalah bahagian dan pengubatan dan pembentukan (at waqtu juz'un minal 'ilaj wat takwin). Sehari dalam kehidupan individu adalah setahun dalam kehidupan umat. Umat yang mengerti betul akan hakikat kehidupan, mereka tidak akan pernah mati. Ini semua akan bergantung pada para da'i dalam memandang kesucian dan urgensi risalah dakwah serta bergantung pada pengorbanan para da'i, baik harta, tenaga, mahupun waktu.

Yang perlu diperhatikan oleh para da'i pada masa pembentukan (fase takwiniyab) adalah memberikan uswah hasanah, bertujuan menampilkan di hadapan masyarakat gambaran nyata tentang Islam. Ini harus dilakukan dengan kemantapan Kiat Memikat Objek Dakwah iman, pemahaman yang universal, dan bertoleransi dalam masalah-rnasalah khilaf dan furu.

Metode dakwah haruslah secara tadarruj (bertahap), sebagaimana firman Allah swt., "Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat." (Asy-Syu'ara: 214)

"Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang musyrik. " (Al-Hijr: 94)

"Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, kerana sesungguhnya mereka telab dianiaya. Sesunggubnya Allah benar-benar Maha kuasa menolong mereka itu." (Al-Hajj: 39)

Dari anasir jahiliah, Rasul mencetak pasukan hidayah. Dari anasir hidayah, Rasul menaklukkan negen-negeri thaghut. Di jalan itulah, Rasul meletakkan sistem dakwahnya.

Sikap Ahlus Sunnah terhadap seorang ulama yang tersalah bahawa sesungguhnya Ia diberi ‘uzur tanpa dibid’ahkan dan tidak pula dijauhi

on Kamis, 16 Mei 2013

Tidak seorang pun yang ma’sum dari kesalahan selain Rasulullah S.a.w dan tidak seorang ulama yang tidak tersalah, siapa yang tersalah tidak boleh diikuti kesalahannya, namun kesalahannya tersebut tidak boleh dijadikan sebagai batu loncatan untuk mencelanya dan menjauhkan orang lain darinya, tetapi kesalahannya yang sedikit tertutup oleh kebenarannya yang banyak, barangsiapa yang telah meninggal di antara ulama tersebut dianjurkan untuk mengambil faedah dari ilmu mereka bersamaan dengan itu perlu kehati-hatian dari mengikuti kesalahannya, serta mendo’akannya semoga Allah mengampuni dan merahmatinya, dan barangsiapa yang masih hidup baik ia seorang ulama atau sebagai seorang penuntut ilmu, ia diberitahu tentang kesalahannya dengan ramah dan berlemah lembut serta mencintai bagaimana supaya ia selamat dari kesalahan dan kembali kepada kebenaran.
Dan di antara sebahagian ulama yang terdahulu yang di sisi mereka ada sedikit kekeliruan dalam sebahagian persoalan aqidah, namun para ulama dan penuntut ilmu tidak pernah merasa tidak perlu terhadap ilmu mereka, bahkan buku-buku karangan mereka merupakan rujukan-rujukan yang amat penting bagi orang-orang yang sibuk dalam menggali ilmu syar’i, seperti Imam Al Bayhaqi, Imam An Nawawy, dan Ibnu hajar al ‘Asqolany.
Adapun tentang Imam Ahmad bin Husain Abu Bakar Al Bayhaqi, berkata Az Zahaby dalam kitabnya As Siyar (18/163) dan halaman berikutnya : “Imam Al Bayhaqi adalah seorang hafiz (penghafal), seorang ulama terkemuka, seorang yang dipercaya, seorang yang faqih (faham), syeikh Islam”. Imam Az Zahaby menambahkan lagi: “Ia seorang yang diberi berkat dalam ilmunya, dan menulis berbagai karangan yang bermanfa’at”. Imam Az Zahabi berkata lagi: “Ia (Imam Al Bayhaqi) berdiam diri di desanya dan menghabiskan umurnya dengan menuntut ilmu dan mengarang, ia menulis kitab As Sunan Al Kubro dalam sepuluh jilid, tiada bagi seorang pun yang semisalnya”, Imam Az Zahaby juga menyebutkan berbagai karangannya yang begitu banyak, kitabnya As Sunan Al Kubro sudah dicetak dalam sepuluh jilid yang cukup besar, Imam Az Zahabi menukil dari Al Hafiz Abduqhaafir bin Ismail tentang perkataannya terhadap Imam Al Bayhaqi: “karangan Imam Al Bayhaqi mendekati seribu jilid, ini adalah sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh orang pun, ia menggabung antara ilmu hadits dan fiqih, serta menerangkan kecacatan sebuah hadits, dan bagaimana menggabungkan pemahaman antara dua hadits yang kontraversi”.
Imam Az Zahaby memujinya lagi: “karya-karya Imam Al Bayhaqi memiliki ukuran yang agung, penuh dengan faedah-faedah ilmiah, amat sedikit orang yang mampu mengarang sebagus karya-karya Imam Al Bayhaqi, maka sepantasnya bagi seorang ulama untuk memiliki karya-karya tersebut terutama sekali AsSunan Al Kubro.
Adapun Imam Yahya bin Syaraf An Nawawy, telah berkata Imam Az Zahaby dalam kitabnya Tazdkiratul Hufaazh (4/259): “Ia adalah Imam, Al Hafiz Al Auhad (penghafal yang ulung), Al Qudwah, Syeikhul Islam, lambang kewalian, …memiliki berbagai karangan yang bermanfa’at”, Imam Az Zahabi berkata lagi: “bersamaan dengan itu ia mencurahkan segala kemampuan dirinya dalam beramal sholeh dan seorang yang wara’, serta selalu merasa takut pada Allah, dan selalu membersihkan dirinya dari berbagai kotoran dosa, dan menahan dirinya dari berbagai keinginannya, ia seorang penghafal hadits, dan ahli dalam segala bidang hadits dan para perawinya, serta mengetahui mana yang shohih dan mana yang lemah, ia seorang terkemuka dalam mengetahui mazhab syafi’ie”.
Berkata Ibnu Katsir dalam kitabnya Al Bidayah wan Nihayah (17/540): “Kemudian Imam An Nawawy menghabiskan waktu dengan menulis sehingga ia telah mengarang karya yang cukup banyak, diantaranya ada yang sempurna dan diantaranya ada yang belum selesai, diantara karangannya yang sempurna adalah; Syarah shohih Imam Muslim, Ar Raudhoh, Al Minhaaj, Riyadhus sholihiin, Al Azkaar, At Tibyaan, Tahriir At Tanbiih wat Tashhihi, Tahziib Al Asma’ wal Lugqaat, dan At Thobaqaat dan lain-lainnya, dan diantara karyanya yang belum selesai -kalau sekiranya selesai tidak ada tandingan baginya dalam pembahasannya- seperti Syarah Al Muhazzab yang beliau beri judul Al Majmu’ yang hanya sampai pada pembahasan kitab riba, ia menulisnya dengan sangat baik dan mantap, menuangkan berbagai faedah dan sangat bagus dalam memilih dan memilah suatu pendapat, ia meredaksi hukum yang terdapat dalam mazhab dan lainnya serta mengkoreksi hadits sebagaimana mestinya, dan menerangkan kata-kata yang qharib (asing), ilmu bahasa serta berbagai hal penting lainnya yang tidak ditemukan kecuali dalamnya, saya belum menemukan kitab fiqih yang lebih bagus darinya, sekalipun ia masih perlunya penambahan dan penyempurnaan terhadapnya”.
Bersamaan dengan luas dan bagusnya karya-karyanya, Ia (Imam An Nawawy) tidak memiliki usia yang cukup panjang, umur beliau hanya sekitar empat puluh lima tahun, ia lahir pada tahun (631 H) dan meninggal pada tahun (676 H).
Ada pun Al Hafiz Ahmad bin Ali bin hajar Al ‘Asqolany, ia adalah seorang imam yang terkenal dengan karangannya yang cukup banyak, yang paling terpenting adalah Syarah shohih Al Bukhary yang merupakan sebagai rujukan penting bagi para ulama, dan diantaranya lagi; Al Ishobah, Tahziibut Tahziib, At Taqriib, Lisaanul Mizaan, ta’jiilul Manfa’ah dan Buluqhul Maraam dan lain-lainnya.
Dan diantara ulama yang hidup pada sekarang adalah Syeikh, Al ‘alamah, Al Muhaddits, Muhammad Nashiruddin Al Albany, yang saya belum mengetahui ada orang yang sebanding dengan beliau pada sekarang ini dalam memelihara hadits dan mengadakan penelitian yang luas dalamnya, walaupun demikian halnya beliau pun tak terlepas dari berbagai kesalahan seperti dalam masalah hijab dan menetapkan bahawa menutup muka tidak wajib bagi wanita, tapi hanya disunahkan (mustahab) walau sekalipun apa yang beliau katakan tersebut adalah benar maka sesungguhnya hal tersebut dianggap dari kebenaran yang semestinya tidak diekspos, kerana berakibat akan berpegangnya sebahagian wanita yang suka buka-bukaan terhadap pendapat tersebut, begitu juga pendapat beliau dalam sifat sholat nabi S.a.w: Bahawa meletakkan tangan di atas dada setelah bangkit dari rukuk adalah bid’ah yang sesat, sedang hal tersebut adalah masalah khilafiyah, begitu juga pendapatnya dalam kitabnya silsilah dho’ifah hadits no (2355): Bahawa siapa yang tidak memotong janggutnya yang lebih dari kepalan adalah bid’ah idhofiah, begitu juga pendapatnya: Tentang haramnya memakai perhiasan emas bagi wanita, sekalipun saya menentang berbagai pendapatnya tersebut maka saya atau pun orang selain saya tidak pernah merasa tidak perlu terhadap karya-karya beliau serta menimba faedah dari karyanya tersebut.
Betapa indahnya perkataan Imam Malik: “Setiap orang berhak untuk diterima atau ditolak pendapatnya kecuali penghuni kuburan ini dan ia menunjuk kuburan Nabi S.a.w”.
Inilah berbagai nukilan dari sekelompok Ahli ilmu dalam menentukan dan menjelaskan tentang tertutupnya kesalahan seorang ulama dalam kebenarannya yang banyak.
Berkata Sa’id bin Musayyib (wafat 93 H): “Tiada seorang ulama pun, tidak pula seorang yang mulia dan seorang yang memiliki keutamaan kecuali ia memiliki kelemahan (aib) tetapi barangsiapa yang keutamaannya jauh lebih banyak dibanding kekurangannya, maka kekurangannya hilang oleh keutamaannya, sebagaimana orang yang lebih dominan kekurangannya hilang keutamaannya”.
Berkata lainnya: “Tidak seorang ulama pun yang selamat dari kesalahan, barangsiapa yang kesalahannya sedikit dan kebenarannya banyak maka ia adalah seorang yang ‘alim, dan barangsiapa kebenarannya sedikit dan kesalahannya banyak maka ia adalah jahil (tolol)”. (lihat Jami’ul ‘ulum wal Hikam karangan Ibnu Rajab (2/48).
Berkata Abdullah bin Mubarak (wafat 181 H): “Apabila kebaikan seseorang lebih dominan dari keburukannya tidaklah disebut keburukannya, dan apabila keburukan seseorang lebih dominan dari kebaikannya tidaklah disebut kebaikannya”. (lihat siar A’laam An Nubala’ karangan Az Zahaby (8/352).
Berkata Imam Ahmad (wafat 241 H) : “Tidak seorang pun yang melewati jambatan dari negeri Khurasan seperti Ishaq bin Rahuyah, sekalipun ia berbeza pendapat dengan kita dalam beberapa hal, sesungguhnya para ulama senantiasa sebahagian mereka menyalahi pendapat bahagian yang lainnya”. (lihat siar A’laam An Nubala’ (11/371).
Berkata Abu Hatim bin Hibbaan (wafat 354 H) : “Abdul Malik bin Abi Sulaiman adalah seorang pilihan Ahli Kuffah dan diantara penghafalnya, kebanyakan orang yang hafal dan merawikan hadits dari hafalannya kemungkinan ada salahnya, bukanlah suatu keadilan ditinggalkannya hadits seorang syeikh yang telah kukuh keadilannya dengan sebab adanya kesalahan dalam riwayatnya, jika kita menempuh cara seperti ini (membuang setiap riwayat orang yang tersalah) melazimkan kita untuk menolak hadits Az Zuhry, Ibnu Juraij, As Staury, dan Syu’bah, kerana mereka adalah para penghafal yang matang, sebab mereka juga meriwayatkan hadits dari hafalan mereka juga, sedangkan mereka bukanlah seorang yang ma’sum sehingga mereka tidak pernah keliru dalam riwayat mereka, tetapi untuk lebih berhati-hati dan yang utama dalam hal ini adalah diterimanya apa yang diriwayatkan oleh seorang yang telah kukuh keadilannya dari berbagai riwayat, dan meninggalkan sesuatu yang telah jelas bahawa ia keliru dalamnya selama hal tersebut tidak melampaui batas darinya sehingga mengalahkan kebenarannya, jika hal demikian terjadi padanya maka ia berhak untuk ditinggalkan seketika itu”. (lihat Ats Tsiqaat (7/97-98).
Berkata Syeikhul Islam Ibnu Taymiah (wafat 728 H) : “Diantara hal yang perlu diketahui tentang berbagai golongan yang berintisab terhadap figur tertentu dalam usuluddin dan ilmu kalam mereka bertingkat-tingkat, diantara mereka ada yang menyalahi Ahlus Sunnah dalam pokok-pokok yang mendasar, dan diantara mereka ada menyalahi dalam persoalan yang kecil, barangsiapa yang membantah terhadap yang lainnya dari berbagai golongan yang melencong jauh dari Sunnah, maka ia dipuji terhadap bantahannya atas kebatilan dan ucapannya yang sesuai dengan kebenaran, tetapi ia telah melampaui batas keadilan ketika ia mengingkari sebahagian kebenaran dan mengatakan sebahagian kebatilan, maka ia telah menolak bid’ah yang besar dengan bid’ah yang lebih kecil darinya, dan menolak kebatilan dengan kebatilan yang lebih ringan darinya, inilah keadaan kebanyakan Ahli kalam yang berintisab kepada Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Mereka yang seperti demikian halnya selama mereka tidak menjadikan bid’ah tersebut sebagai pendapat yang menyingkirkan mereka dari jama’ah kaum muslim iaitu menjadikannya sebagai termoter dalam memilih teman dan memilah lawan, maka hal tersebut dianggap sebagai suatu kesalahan, Allah Subhanahu mengampuni bagi orang-orang yang beriman terhadap kesalahan mereka seperti demikian.
Kerana hal seperti ini banyak terjadi di kalangan para ulama salaf, berbagai pendapat mereka yang mereka katakan melalui berijtihad, sedangkan pendapat tersebut bertentangan dengan apa yang sudah tetap dalam Al Quran dan Sunnah, lain halnya dengan orang yang menjadikannya sebagai pola ukur dalam memilih teman dan memilah lawan, serta memecah belah antara sesama kaum muslim, atau mengkafirkan dan memfasikkan orang yang tidak setuju dengan berbagai pendapat dan ijtihadnya, bahkan menghalalkan darah orang yang tidak setuju dengan pendapatnya, mereka tersebut adalah termasuk kelompok suka memecah belah dan bertengkar. (lihat majmu’ fatawa; 3/348-349).
Dan ia berkata lagi (19/191-192); “Kebanyakan dari para mujtahid ulama salaf dan khalaf (terakhir) telah berkata dan mengerjakan perbuatan yang termasuk bid’ah tanpa mereka sedari bahawa perbuatan tersebut adalah bid’ah, adakalanya kerana mereka berpedoman pada hadits dhoif yang menurut perkiraan mereka shohih, dan adakalanya kerana salah dalam memahami maksud sebuah ayat, atau kerana ijtihad mereka sedangkan dalam masalah tersebut ada nash (dalil) yang menjelaskannya namun nash tersebut tidak sampai kepadanya, apabila seorang melakukan ketaqwaan kepada Allah sebatas kesanggupannya maka ia telah termasuk dalam firman Allah:
{رَبَّنَا لاَ تُؤَاخِذْنَا إِن نَّسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا}
“Ya tuhan kami janganlah engkau azab kami jika kami lupa dan tersalah”.
Dalam shohih Bukhary bahawa Allah menjawab: “Sungguh Aku telah memperkenankannya”.
Berkata Imam Az Zahaby (wafat 748 H) : “Sesungguhnya seorang ulama besar apabila kebenarannya cukup banyak, dan diketahui kesungguhannya dalam mencari kebenaran kemudian ia seorang yang memiliki ilmu yang luas, cerdas, sholeh, wara’ dan mengikuti sunnah, kesalahannya diampuni maka kita tidak boleh menyesatkan dan menjatuhkannya, atau kita melupakan segala kebaikannya, suatu yang sudah diakui bahawa kita dilarang untuk mencontoh bid’ah dan kesalahannya tersebut, kita mengharapkan semoga ia bertaubat dari kesalahannya tersebut”. (lihat Siyar A’lam An Nubalak: 5/271).
Berkata lagi Imam Az Zahaby: “Jika setiap tersalahnya seorang ulama dalam berijtihad dalam salah satu masalah yang mana kesalahan tersebut dalam hal yang boleh dima’afkan lalu kita bersama-sama membid’ahkan dan menjauhinya tidak seorang pun yang akan boleh selamat bersama kita sekalipun Ibnu Naashir atau Ibnu Mandah atau ulama yang lebih tua dari mereka berdua, hanya Allah yang mampu menunjuki makhluk kepada kebenaran, Ia-lah yang paling kasih di atas segala makhluk, maka kita berselindung dengan Allah dari mengikuti hawa nafsu dan kekasaran dalam bertutur kata”. (lihat As Siyar : 14/39-40).
Ia berkata lagi: “Dan jika setiap siapa saja yang tersalah dalam ijtihadnya -sekalipun (sudah diketahui) keshohihan imannya dan konsekwennya ia dalam mengikuti kebenaran-, kita membuang dan membid’ahkannya, sungguh sangat sedikit sekali dari para ulama yang dapat selamat bersama kita, semoga Allah merahmati kita semua dengan anugerah dan kemuliaannya”. (lihat As Siyar : 14/376).
Ia berkata lagi: “Kita mencintai Sunnah dan pengikutnya, dan kita mencintai seorang ulama yang terdapat padanya sikap mengikuti Sunnah lagi memiliki sifat-sifat yang terpuji, namun kita tidak menyukai bid’ah yang dilakukannya akibat penakwilan yang wajar, sesungguhnya yang menjadi I’tibar adalah dengan banyaknya kebaikannya”.
Berkata Imam Ibnul Qoyyim (wafat 751 H) : “Mengenal keutamaan para ulama Islam, kehormatan dan hak-hak mereka serta tingkatan mereka, bahawa mereka memiliki keutamaan, ilmu dan nasihat untuk Allah dan Rasulnya, tidaklah memestikan kita untuk menerima segala yang mereka katakan, bila terdapat dalam fatwa-fatwa mereka dari berbagai masalah yang tersembunyi di atas mereka apa yang dibawa oleh rasul S.a.w lalu mereka berfatwa sesuai dengan ilmu mereka sedangkan yang benar adalah sebaliknya, tidaklah semestinya kita membuang pendapatnya secara keseluruhan atau mengurangi rasa hormat dan mencela mereka, dua macam tindakan tersebut adalah melencong dari keadilan, jalan yang adil adalah di atara keduanya, maka kita tidak menyalahkannya secara mutlak dan tidak pula mensucikannya dari berbuat salah”, sampai pada perkataannya: “Barangsiapa yang memiliki ilmu dalam agama kenyataan menunjukkan bahawa seseorang yang terhormat serta memiliki perjuangan dan usaha-usaha yang baik untuk Islam, dia juga seorang yang disegani di tengah-tengah umat Islam, boleh jadi terdapat padanya kekeliruan dan kesalahan yang boleh ditolak-ansur bahkan ia diberi pahala kerana ijtihadnya, maka ia tidak boleh diikuti dalam kesalahannya tersebut namun tidak pula dijatuhkan kehomatan dan kedudukannya dari hati kaum muslim”. (lihat I’laamul Muwaaqi’iin : 3/295).
Berkata Ibnu Rajab Al Hambaly (wafat 795 H) : “Allah enggan untuk memberikan kema’suman untuk kitab selain kitabNya, seorang yang adil adalah orang yang mema’afkan kesalahan seseorang yang sedikit dihadapan kebenarannya yang banyak”. (lihat Alqawa’id , hal: 3).

Sikap ramah dan berlemah lembut



Allah telah menggambarkan tentang sifat NabiNya Muhammad S.a.w bahawa sesungguhnya Ia memiliki Akhlak yang Agung.
Firman Allah: {وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ {4} [سورة القلم].
“Dan sesungguhnya engkau (Muhammad) memiliki akhlak yang agung”.
Allah menggambarkannya juga dengan sifat ramah dan lemah lembut, Allah berfirman :
{فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ }[سورة آل عمران :159]
“Maka dengan sebab rahmat Allah-lah engkau berlemah-lembut terhadap mereka, dan sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu”.
Allah menggambarkannya pula dengan sifat berkasih-sayang dan santun terhadap orang-orang yang beriman, Allah berfirman:
{لَقَدْ جَاءكُمْ رَسُولٌ مِّنْ أَنفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُم بِالْمُؤْمِنِينَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ} [سورة التوبة :128].
“Sesungguhnya telah datang kepada kalian seorang rasul dari jenis kalian sendiri, amat berat baginya segala yang menyusahkan kalian, sangat menginginkan untuk kalian (segala kebaikan), amat santun dan berkasih-sayang terhadap orang-orang yang beriman”.
Dan Rasul S.a.w sendiri pun memerintahkan untuk berlaku lemah-lembut dan menganjurkannya, beliau bersabda:
((يَسِّرُوْا وَلاَ تُعَسِّرُوْا، وَبَشِّرُوْا وَلاَ تُنَفِّرُوْا))
“Hendaklah kamu memudahkan dan jangan kamu menyulitkan, dan sebarkanlah olehmu berita gembira dan jangan kamu membuat orang lari (darimu)”. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Bukhary, no (69) dan Imam Muslim, no (1734) dari hadits Anas.
Dan disebutkan pula oleh Imam Muslim dalam shohihnya, hadits no (1732) dari hadits Abu Musa Al Asy’ary dengan lafaz:
((بَشِّرُوْا وَلاَ تُنَفِّرُوْا ويَسِّرُوْا وَلاَ تُعَسِّرُوْا )).
“Berikanlah olehmu berita gembira dan jangan kamu membuat orang lari (darimu), dan hendaklah kamu memudahkan dan jangan kamu menyulitkan”.
Imam Bukhari meriwayatkan dalam shohihnya, hadits no (220) dari Abu Hurairah r.a bahawa Rasulullah S.a.w berkata kepada para shahabat dalam kisah seorang badawi yang buang air kecil dalam mesjid Rasulullah S.a.w:
((دَعُوْهُ وَهَرِيْقُوْا عَلَى بَوْلِهِ سَجْلاً مِنْ مَاءٍ أَوْ ذَنُوْباً مِنْ مَاءٍ فَإِنَّمَا بُعِثُتْم مُيَسِّرِيْنَ وَلَمْ تُبْعَثُوْا مُعَسِّرِيْنَ)).
“Biarkan ia, dan siramlah di atas kencingnya dengan setimba air, atau semangkuk air, sesungguhnya kalian diutus untuk memberi kemudahan dan kalian tidak diutus untuk menyulitkan”.
Imam Bukhari meriwayatkan pula dalam shohihnya, hadist no (6927) dari ‘Aisyah --رضي الله عنها bahawa Rasulullah S.a.w berkata kepadanya:
((يَا عَائِشَةَ! إِنَّ اللهَ رَفِيْقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي اْلأَمْرِ كُلِّهِ)).
“Wahai ‘Aisyah! Sesungguhnya Allah itu amat maha lembut, Ia mencintai kelembutan dalam segala urusan”.
Menurut lafaz Imam Muslim, hadits no (2593):
((يَا عَائِشَةَ! إِنَّ اللهَ رَفِيْقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ، وَيُعْطِي عَلَى الرِّفْقِ مَا لاَ يُعْطِي عَلَى الْعُنْفِ، وَمَا لاَ يُعْطِي عَلَى مَا سِوَاهُ)).
“Wahai ‘Aisyah! Sesungguhnya Allah itu amat maha lembut, Ia mencintai kelembutan, Ia memberi di atas kelembutan sesuatu yang tidak Ia beri dengan kekasaran, dan tidak pula dengan selainnya”.
Imam Muslim meriwayatkan dalam shohihnya, hadits no (2594) dari ‘Aisyah --رضي الله عنها bahawa Nabi S.a.w bersabda:
((إِنَّ الرِّفْقَ لاَ يَكُوْنُ فِي شَيْءٍ إِلاَّ زَانَهُ، وَلاَ يُنْـَزعُ عَنْ شَيْءٍ إَلاَّ شَانَهُ)).
“Sesungguhnya kelembutan tidak terdapat pada sesuatu melainkan membuatnya indah, dan tidak dicabut dari sesuatu melainkan membuatnya buruk”.
Dan diriwayatkan pula oleh Imam Muslim, hadits no (2592) dari Jariir bin Abdillah r.a bahawa Nabi S.a.w bersabda:
((مَنْ يُحْرَمُ الرِّفْقَ يُحْرَم.ُ الْخَيْرُ))
“Barangsiapa yang diharamkan (mempunyai) sifat lemah-lembut bererti ia telah diharamkan terhadap kebaikan”.
Sesungguhnya Allah telah menyuruh dua orang nabi yang mulia; Nabi Musa dan Nabi Harun untuk menyeru Fir’aun dengan sopan dan berlemah-lembut, Allah berfirman:
{اذْهَبَا إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى {43} فَقُولَا لَهُ قَوْلًا لَّيِّنًا لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى {44}[سورة طه]
“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun sesungguhnya dia telah melampaui batas (kesesatan), maka bicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah-lembut, mudah-mudahan ia mendapat peringatan dan takut (terhadap Allah).
Allah menggambarkan tentang sifat para sahabat yang mulia dengan sifat saling berkasih sayang antara sesama mereka, Allah berfirman:
{مُّحَمَّدٌ رَّسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاء عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاء بَيْنَهُمْ} [سورة الفتح : 29].
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersamanya bersikap keras terhadap orang kafir, tetapi berkasih sayang terhadap sesama mereka”.

Sikap berprasangka buruk dan mencari-cari kesalahan orang lain



Firman Allah: {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيراً مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُو ا }
“Hai orang-orang yang beriman jauhilah banyak prasangka, sesungguhnya sebahagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain”.
Dalam ayat yang mulia ini perintah untuk menjauhi kebanyakan dari berprasangka, kerana sebahagiannya adalah dosa, dan larangan dari mencari-cari kesalahan orang lain, iaitu mencungkil-cungkil tentang keburukan orang lain, hal itu terjadi adalah akibat dari berburuk sangka.
Rasulullah S.a.w bersabda:
((إِيَّاكُمْ وَالظَنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ وَلاَ تَحَسَّسُوْا وَلاَ تَجَسَّسُوْا وَلاَ تَحَاسَدُوْا وَلاَ تَبَاغَضُوْا وَلاَ تَدَابَرُوْا وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَاناً)).
“Aku peringatkan kepada kalian tentang prasangka, kerana sesungguhnya prasangka adalah perkataan yang paling bohong, dan janganlah kalian berusaha untuk mendapatkan informasi tentang keburukan dan mencari-cari kesalahan orang lain, jangan pula saling dengki, saling benci, saling memusuhi, jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara” (H.R Bukhari, no (6064) dan Muslim, no (2563).
Berkata Amirul Mukminiin Umar bin Khatab: “Janganlah kamu menyangka terhadap sebuah perkataan yang keluar dari mulut saudaramu yang beriman kecuali terhadap hal yang baik, sa’at engkau dapat untuk membawanya ke arah yang baik”. (disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam mentafsirkan surat Al Hujurat).
Berkata Bakar bin Abdullah Al Muzany, sebagaimana yang terdapat dalam biografinya dalam kitab “Attahzibut Tahziib”: Hati-hatilah kamu terhadap perkataan sekali pun kamu benar dalamnya kamu tidak diberi pahala, dan jika kamu tersalah kamu memikul dosa, iaitu berburuk sangka terhadap saudaramu”.
Berkata Abu Qilabah Abdullah bin Zaid Al Jurmy sebagaimana dalam kitab “Al Hilyah” karangan Abu Nu’aim (2/285): “Bila sampai kepadamu sesuatu yang kamu benci dari saudaramu, maka berusahalah untuk mencarikan alasan untuknya, jika kamu tidak menemukan alasan untuknya, maka katakanlah dalam hatimu: mungkin saja saudaraku punya alasan yang aku tidak mengetahuinya”.
Berkata Sufyan bin Husain: “Aku menyebut keburukan seseorang di hadapan Iyas bin Mu’awiyah, maka ia menatap muka ku, dan berkata: apakah engkau ikut berperang melawan Romawi?, aku jawab: tidak, ia bertanya lagi melawan Sanad, India, dan Turki, aku jawab: tidak, ia berkata lagi: apakah merasa aman darimu Romawi, Sanad, India dan Turki, namun saudaramu sesama muslim tidak merasa aman darimu, berkata Sufyan bin Husain: aku tidak mengulanginya lagi sesudah itu”. (lihat Al Bidayah wan Nihayah karangan Ibnu Katsir (13/121).
Alangkah bagusnya jawaban dari Iyas bin Mu’awiyah tersebut yang sangat terkenal dengan kecerdasannya, jawapan di atas adalah salah satu bukti dari kecerdasannya.
Berkata Abu Hatim bin Hibban Al Busty dalam kitabnya Raudhatul ‘Uqola’, halaman (131) : “Keharusan bagi orang yang punya akal untuk tetap berada dalam keadaan selamat dari mencari-cari tentang keburukan (‘aib) orang lain, hendaklah ia sibuk memperbaiki keburukan dirinya, sesungguhnya orang yang sibuk dengan keburukannya sendiri dari pada mencari keburukan orang lain, badannya akan tenteram dan jiwanya akan tenang, maka setiap ia melihat keburukan dirinya, maka akan semakin hina di hadapannya apabila ia melihat keburukan tersebut pada saudaranya, sesungguhnya orang yang sibuk dengan keburukan orang lain dari memperhatikan keburukan dirinya, hatinya akan buta, badannya akan letih, dan akan sulit baginya untuk meninggalkan keburukan dirinya sendiri”.
Ia (Ibnu Hibban berkata lagi) masih dalam kitab tersebut, halaman (133): “Mencari-cari keburukan orang lain adalah salah satu cabang dari sifat kemunafikan, sebagaimana berbaik sangka adalah salah satu dari cabang keimanan, orang berakal sihat selalu berbaik sangka dengan saudaranya, dan menyendiri dengan kesusahan dan kesedihannya, orang yang jahil (tolol) selalu berburuk sangka dengan saudaranya, dan tidak mahu berfikir tentang kesalahan dan penderitaannya”.